Kunang

Kita adalah sebuah prolog-epilog. Sebuah adegan dengan remote control yang dikendalikan oleh Pemilik Semesta…

Selendang luriknya, menjadi saksi bahwa ia mengembara sepanjang perjalanan dari Parahyangan hingga Dago. Ibu yang sudah tampak tua dari usianya yang sebenarnya. Setiap garis wajahnya tergambar ketegaran sekaligus ketangguhan. Ibu bekerja sebagai penjual berbagai macam bumbu dapur di Pasar dengan jarak yang cukup jauh dari rumah, sedang ayah seorang petani bersahaja sekaligus pendakwah di surau-surau kampung kami. Dari kedua orang tuaku itu, lahirlah aku. Dan ayahlah yang menamaiku “Lunar”. Dan pada saat aku berusia 13 tahun, aku mulai tahu makna sebuah doa dalam nama pendekku. Nama yang kerap kali dipertanyakan ‘apakah artinya’ dan ‘kenapa pendek sekali’.

Ayah, dalam kenangan 17 tahun lalu saat aku dan ayah sengaja jalan-jalan ke sawah kami pada malam hari untuk melihat seberapa banyak tikus yang datang untuk melumat padi-padi kami. Kami berjalan selepas isya. Dan aku tahu ayah akan menceritakan banyak hal disana nanti.

Dalam bentangan sawah yang luas. Kami menyusuri terasiring. Sengaja memadamkan senter kami yang memang sudah menjelang wafat karena baterai mulai habis. Terlebih adalah cara kami untuk mengamati tikus-tikus. Kami berjalan pelan-pelan. Setelah mengelilingi sawah kami, ayah tiba-tiba mengajak duduk disebuah terasiring yang agak lebar.

“Sini nak duduk sebentar” dalam bahasa sunda.

Ayah menjadi sejatinya ayah. Menasehati. Menceritakan filosofi-filosofi kehidupan.

“Hidup itu laiknya sebuah terang dalam diri kunang anakku”. Ayah mulai memainkan senter, menghidup-matikan senter ke arah kunang

“Ayah, apakah kunang tidak kepanasan karena mereka menghasilkan cahaya? Seperti bola lampu?” aku seperti tak menghiraukan perkataan ayah barusan.

“Tidak nak. Cahaya yang mereka hasilkan adalah cahaya tanpa panas. Namanya luminescence. Dalam diri kunang ada zat yang bernama Luciferin yang jika bergabung dengan oksigen akan mengeluarkan cahaya.”

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Namun aku mengiyakan. Dulu ayah memang lulusan biologi.

“Yah, kenapa Edison dulu tidak memakai kunang saat menciptakan bola lampu?”

“Karena Edison bukan kamu.”

“Maksudnya??”

“Kelak jadilah illmuwan nak.” Jawab ayah tersenyum

“Nak apa jadinya kunang hidup dalam gelap?” ayah melanjutkan pertanyaan.

“Jadi bagus yah.” Jawabku pendek, tapi sepertinya ayah membutuhkan jawaban lagi. “Kalau hidup dan menerangi, berarti ia bermanfaat yah.”

“Betul sekali.. ayah juga ingin kamu seperti itu kelak.. Mampu menerangi yang gelap, memberikan manfaat kepada yang semua orang. Seperti namamu”

Telingaku semakin tertarik untuk mendengarkan lebih jauh. Dari dulu aku ingin tahu seluk beluk namaku, “Terusin yah, ceritakan sejarah namaku yah”

“Nur adalah nama dari ibumu. Ayah ingin kau menjadi seperti ibumu, Lunar.”

“Terus?”

“Lunar itu berarti cahaya, cahaya rembulan. Cahaya rembulan didapat dari pantulan cahaya matahari yang menjadi sumber cahaya. Kamu tidak perlu menjadi sumber cahaya. Cahaya pantulan akan mengerti bahwa bukan ia sejatinya pemilik cahaya. Karena sebenarnya kebaikan yang kita terima sehingga kita bisa menyebarkan kebaikan adalah kebaikan yang kita berikan kepada Sang Pencipta. Pantulan dari Sang Pencipta. Karena sumber segala sumber adalah Allah SWT. Sumber cahaya adalah Allah SWT.” terang Ayah.

“Wah keren sekali ayah. Ayahku keren.” Aku merusak flow sebenarnya.

Aku jadi teringat mendiang ibu yang sudah mendahului kami menuju Pencipta 2 tahun yang lalu.

“Yah kenapa orang baik kebanyakan pulang lebih dulu kepada Sang Pencipta?”

“Nak, jika kau pergi ke taman, bunga mana yang lebih dulu akan kau petik?”

“Yang paling bagus yah..”

ayah tersenyum sambil terus memandang langit.. Lelaki tua itu tampak ikhlas.

Ayah tampak ingin mengalihkan pembicaraan..“Kelak kau akan terus mencari ilmu nak. Ilmu itu cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.

“Wah ayah kereeen”

“Itu kata guru Imam Syafii, bukan kata Ayah.”

Hehe.. aku cengengesan. “Hebatlah guru dan imam syafii”

Coba nanti buka Al Quran ya. Surat An Nuur ayat 35, besok setor ke Ayah..

Ayah melihat mimik mukaku yang lusut malas.

“Itu filosofi namamu lho.”

“Iyakah yah??” aku tampak kegirangan

“okey besok siap aku setor ke ayah…”

Menyusuri terasiring, kami berjalan pulang. Melihat langit saat gelap, langit terlihat menjadi begitu luas. Kunang tepat sekali datang mengelilingi kami, karena baterai senter kami sudah wafat. Ternyata tikus tidak terlalu banyak. Bahkan kami tidak menemukan. Atau mungkin mereka asyik mendegarkan pembicaraan kami, hingga tertidur pulas? :D

“Ayah kenapa warna cahaya kunang berbeda-beda? Hijau, kuning, kebiruan?”

“Besok lagi ya, setorkan dulu An Nur: 35.”

“Siaaaap komandaaan”

**Kini aku sudah 30 Tahun, Ayah. Atas izin Nya, telah menjadi ilmuwan sepeti yang ayah inginkan. Kini ku mengenangmu ditempat yang sama 17 tahun yang lalu. Mengenang ibu, mengenang kemahabesaran Allah yang Maha Menciptakan makhluk beserta alur hidup yang mengiringinya..

 Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (1) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (2) QS. Al Mulk 1-2

Saputan Memori (1)

Adakah yang lebih indah, ketika kita bisa mempunyai momen untuk dapat membingkai cerita hidup kita, menulisnya, merangkainya menjadi satu saputan indah memori untuk kemudian dapat kita putar kembali apabila kita menginginkannya.

Seminggu ini terlalu menyenangkan untuk dilalui. Terlebih untuk mahasiswa profesi, yang terus menerus dikejar oleh deadline tugas dan praktek. Mereka berdua saling berebut minta didahulukan oleh si empunya. Dan siempunya, pada tahap ini, sangat senang luar biasa. Dia telah meletakkan keduanya pada garis finish dimana dia harus meletakkannya. :) Dan sekarang dia akan membagi kisahnya, kisah tentang kucingnya, eh salah kucing adeknya..

Sebenarnya, cerita ini dimulai dengan postingan seorang teman tentang buku ‘ayahku’ karya Irfan Hamka yang mengisahkan tentang Buya Hamka, sang ayah. Dia berpesan, jangan lupa ya baca tentang “Si Kuning” cerita tentang kucing yang dimiliki Buya Hamka. Yang subhanallah, Buya Hamka adalah sosok legendaris yang selalu menginspirasi.. Dan saya membuka buku Ayahku tersebut secara random, dan mendapati halaman yang benar teman saya sarankan. Saya memang belum selesai baca waktu itu. Ah, banyak sekali memang kebetulan-kebetulan di dunia ini. Seperti pernahkah membuka Al Quran secara random, lalu mendapati ayat yang kita baca sama persis dengan yang kita alami saat itu, atau yang tengah kita pikirkan. Pasti pernah, atau malah sering :)

Saya memulainya dari mana…

Ah ya, tentang kucing…

Kami, sekeluarga hidup di rumah sederhana. Rumah yang akan selalu saya rindukan untuk kembali ketika berada di medan pengembaraan ilmu ataupun nanti ketika sudah memiliki rumah sendiri. Rumah kami, bisa dibilang 3/5 dari rumah kami adalah pekarangan, halaman yang mempunyai banyak isi. Percayakah anda? Ibu dan ayah saya mempunyai kolaborasi yang sempurna. Ayah saya pecinta hewan, ibu saya pecinta tanaman. Bisa diperkirakan apa yang terjadi di rumah? Yap. 3/5 dari pekarangan rumah kami terisi oleh berbagai macam hewan dan tumbuh2an :). And I really proud of it :D.

Sejak saya kecil ayah sudah berkali-kali memelihara hewan, berikut list yang pernah ayah pelihara atau ternak :D

  1. Ikan—–ratusan ikan kecil, dan beberapa ikan besar
  2. Burung—sekarang ada 8 burung Love Bird dan 3 lagi saya lupa jenis apa
  3. Kucing— 4 kucing bernama Pussy, Pissa, dan anak anaknya
  4. Hamster— jika ditotal mungkin sampai 30, tapi perlahan mati dan hilang entah kemana, dia sangat pintar :D dan umurnya tidak terlalu lama
  5. Bebek—ini hanya bertahan beberapa bulan, karena kami tidak terlalu tahan dengan residunya :D
  6. Ayam—masih dan banyak sampai sekarang
  7. Kambing—nasib kambing hampir sama dengan nasib bebek, bahkan hanya beberapa minggu. :)
  8. Dan hewan-hewan yang ada dirumah namun dia bisa mengkondisikan dirinya sendiri seperti cicak, nyamuk, semut, dan sebangsanya….

Namun sekarang tinggalah nomor 1, 2, 6, dan tentu saja 8..

Dan yang paling impresif adalah bersama nomor 3.. sejak dulu saya ingin memposting tentang kucing yang pernah dipelihara oleh kami..

Bisa dibilang saya dominan darah ibu, sehingga untuk hewan.. saya hanya hobbi memfotonya :D

IMG0302A

Pussy yang ganteng

si Pussy ini, yang selalu ikut saat ayah ibu pergi ke masjid untuk sholat shubuh, pergi bersama dan pulang bersama.

IMG0518A

Pussy dan Pissa sedang sarapan :D

Foto0440

Pissa tertidur setelah menamatkan buku2 didalam rak :D

Photo1065

Mereka sedang berbicara dari hati ke hati (ini beberapa saat sebelum Pussy meninggal dunia) pussy kiri, pissa kanan

Photo0239

Like father like son… its really sweety :)

Photo0769

Sedang makan siang :)

Photo0251

Aura cantiknya terpancar… :) Pissa

FILE0693

Ini Pissa pertama kali dibawa kerumah :), dia bahkan udah terlatih untuk foto model :P

Photo0990

Ini sih kucing asrama..

Photo1010

ini juga

Photo1003

Ini juga. Imut sekali bukan? :D

Terimakasih Allah… ajarkan kami untuk selalu menyayangi makhlukMu…

Viva La Pharmacia

….. Maha Suci Allah,

hari ini, hari jum’at, tepat hari ini juga, si anak yang sepertinya baru kemarin sore di ospek, hari ini tersematkan gelar sarjana farmasi di belakang namanya. Bukan terkait gelar.. tapi terkait dengan beribu-ribu lembar nikmat, helaan kasih sayang Allah yang begitu luar biasa. Atas nikmat orang tua, (my true heroes), nikmat kesempatan, nikmat sahabat, nikmat hidup menjadi diri saya.

hari ini, hari jum’at, tepat hari ini juga, hari pertama ramadhan, betapa bahagia, ummatMu dipertemukan dengan bulan yang suci dan penuh dengan segala kamurahanMu : ampunan, rahmat, petunjuk. Sampaikan kami pada ridhoMu Yaa Rabb.

air mata syukur terus berderai, ketika menulis ini. Rabb. nikmatMu besar sekali, uncountable, melebihi bilangan avogadro, melebihi tanda tak terhingga..

jadikan hamba, hamba yang terus bersyukur, terus bersyukur.

betapa dalam hidup ini, manusia hanya harus banyak bersyukur.

:’)

Um.. Percaya (?)

Um.. percaya tidak? Pasti percaya :)

Kata-kata ibu itu, bagai tuxedo beludru tebal saat musim dingin, ia menghangatkan. Bagai es dalam kemarau panjang, yang membayar dahaga yang berlarut-larut, alarm yang membangunkan kita dari tidur panjang…
Saya pernah punya mimpi. Saya punya mimpi untuk diwujudkan. You’d been having a dream, chase it! When you have willing to chase it, means you already begin the journey, just finish the journey, finish everything that you begin, patiently and passionately.
Iya, ia semacam semangat dengan voltase tinggi. :)
Terimakasih ibu. Te-ri-ma-ka-sih.

Saya akan sekolah, dan kembali ke rumah. Janji, Ibu :)

Terimakasih

Untuk 4-3-2014

Bapak..

Dihari menjelang usiamu setengah abad lebih satu.

Terimakasih… Untuk segala yang telah engkau ajarkan pada kami, anak-anakmu. Terimakasih untuk setiap nasehat bahwa langkah adalah amanah yang harus dipenuhi tanpa lelah. Segala nasehat dalam tutur kata atau lewat diammu yang emas.

Terimakasih, Bapak. Untuk setiap helaan kasih sayangmu. Engkau mencintai anak-anakmu dengan caramu sendiri. Dengan penuh syukur.. Kuucap selalu, atas nikmat orangtua bernama Bapak dan Ibu. Thank you for showing me the goodness and the badness. Saya menyadari segalanya. Hebat bukanlah hanya jika mampu sekolah di sekolah ternama. Menderita bukanlah ketika jauh dari orang tua bertahun-tahun. Sedih bukanlah ketika seorang anak ditinggal orang tuanya yang diam-diam ‘membanting tulang’ nya untuk memberi anak-anak mereka sesuap nasi. Dan anak kuliah bukanlah dia yang bisa hidup di kos-kosan. :D (Oh, Terimakasih Bapak..)

Terimakasih, Bapak. Doaku selalu terlantunkan : semoga engkau sehat selalu, dan mendapat rahmatNya yang tak pernah putus-putus. Mampu menemani dan menyaksikan kami  anak-anaknya tumbuh besar dan sukses.

Saya pernah bilang sama blog ini untuk mengepost tentang mu, Bapak. Mungkin ini moment yang tepat. Satu tahun kemudian. (ah, anak macam apa ini), yang selalu ber-alibi. Maafkan anakmu, pak. You always with us, engkau selalu bersama kami : anak-anakmu yang sudah tak lagi kecil, yang bisa kau gendong, lalu engkau pindahkan ke tempat tidur kami masing-masing ketika kami tidur disembarang tempat.

Salam hangat dari kami anak-anakmu dan Ibu hebat nomor satu sedunia.

Ibu Budiyati, Mb Na, Mb Nis, Mb Ita, Amri

(Wahai Rahman, Rahim.. perkenankan kami berkumpul lagi di surgaMu kelak..aamiin)

Usia adalah lipatan-lipatan hari. Sebentuk anugerah yang senantiasa pantas untuk di syukuri. Sebentuk saksi kumpulan putaran mentari yang memancar berkali-kali dalam hidup.

Maka tugas kita adalah menghargai setiap nanometer ruang kesempatan yang selalu hadir tanpa absen, menghargai setiap sepersekian detik helaan kasih sayangNya yang membumbung tinggi tak terperi.

Terimakasih.

Untuk setiap mimpi yang selalu kita eja dan kita kumpulkan lagi kepingan-kepingannya.